"benar seperti dugaanmu, perasaanku telah tertuang untuknya, tetapi sayang sesuatu yang fatal memisahkan kami" (aku tahu kedekatan mereka lebih kuat dari yang pernah aku bayangkan, semakin besar cintaku padanya, semakin kuat pula cinta mereka, dan suku merupakan aturan utama dalam menjalin hubungan, jikalau sempat saja mereka satu suku hubungan yang sekuat apapun takkan berkutik dibawah aturannya, dan mereka sesuku rupanya, kenyataan ini seharusnya membuatku senang, tetapi tidak setelah semua jelas oleh mataku, betapa sulitnya mengakhiri hubungan yang terjalin kuat selama ini, tetapi kulihat mereka dapat menjalaninya dengan baik) "aku turut bersedih" (akuku putus asa) "bukankah kau senang?" (tanyanya, membuat mataku merah semerah saga, apa aku seburuk itu, pikirku, senang diatas kesedihan orang lain, tidak aku tidak setega itu) " seharusnya, tetapi tidak begitu adanya, aku sudah lelah dengan keadaan pelik dan ku tak mau terlalu mengkambing hitamkan kesedihan, itu hanya memperburuk keadaan saja" "apa..?" (tanyanya kaku tak menyimak ucapanku) " bukan apa-apa" (ucapku sendu) " "tampaknya bulan begitu bersemangat kali ini" "yeah, cahayanya terang, kalau bukan karena cahayanya hampir ku tak mengenali dirimu tadi" "benarkah, umm...kenapa selama ini kau begitu bodoh?" "bodoh," (ulangku heran) "yeah," "dari segi mana?"(tanyaku tak sabarkan diri) " "sore itu, kata-katamu terlontar frustasi" "apa kau tak bisa tak mengejekku dalam sehari saja" "sehari, bagaimana bisa" "yeah, ku tahu, bersamamu memancing pertengkaran" " memancing pertengkaran?, aku tak sedang memancing" " itu benar, aku selalu muak mendengar ucapanmu yang sok peduli, padahal ku tahu kau enggan mengomentari keluhanku, apa kau tak bisa jujur, setidaknya sekali saja, kenapa selalu saja bohong padaku, apa aku tak pantas mendapat ucapan jujur?, lagipula kau tahu Tuhan selalu melarangku mendekatimu lebih dekat lagi, jadi jangan takut karena ku tak mungkin melanggar larangannya untuk tak mendekatimu lagi," "benarkah?" "berhentilah mengintoregasiku, seakan2 aku ini pencuri uang rakyat, yang jumlah cuma 2 triliun" (tawanya meledak mendengar ketidakpuasan dalam nada suaraku)"cuma 2 triliun, apa tak terlalu sedikit?" "ap...a" "baiklah aku tak mau bertenggkar lagi" "hah (aku jengkel kenapa dia selalu berfikir jelek terhadapku, tindakkan bodohku lebih dari itu, yaitu ingin tahu, aku hanya ingin mengamati keadaan dan mencari kejelasan itu saja) "apa yang kamu fikirkan setelah aku tahu semua ini" "aku....kecewa tak mendapatkan kata-kata apapun dari mu selain mengejekku,(dia lagi-lagi tergelak sebelum ku melanjutkan penjelasanku) kedua aku sadar (lanjutku tak memedulikan suasana hatinya) bukan kamu nama yang ada ditakdirku" "bukan aku nama yang ada ditakdirmu, benarkah itu" (hebat sekali ia, sementara airmataku sudah mau jatuh hanya tuk berucap ini, apa sebegitu tidak berartinya kata-kataku untuknya) "yeah, takdir bisa saja berkata sementara kita belum tau kenyataannya" "apa, "(tanyaku heran) "ach tidak""apa kau tahu siapa nama yang ada ditakdirmu?" "(tahu..takdir, bagaimana bisa aku tahu, apa dia sudah tidak waras, berkata seenaknya) "hah kau berkata, seolah-olah aku ini tau segalanya, seandainya aku tahu mana mungkin aku begitu memendam perasaan maya itu, apa kamu fikir itu tidak menyakitkan?" "cinta tak menyakitkan koq" (ucapnya tak mengubris ucapanku) "tidak menyakitkan, benar sekali, yang menyakitkan itu kamu" "aku.." "kau membuatku penasaran pada patah hati putus cinta, sehingga berlagak nyinyir hanya tuk mencari tau kejelasan" "och, itu rupanya, apa kini kau masih ingin merasakan patah hati putus cinta" "aku tak berminat lagi" (tawanya meledak mendengar ketidkapuasan dalam nada bicaraku. dicelah pepohonan kulihat angin berhembus meniupi dedaunan, dua bintang jalan beriringan, dari arah barat laut, menuju puncak tertinggi langit dan hilang dibalik awan, entah kemana mereka pergi, namun ku tahu mereka begitu akrab, datang dan pergi bersama selalu, begitu leganya dapat berbicara apa adanya begini) "apa yang pernah terbesit dibenakmu tentangku setelah kau tahu perasaanku yang akut itu" "akut pilihan kata yang menarik, (senyum separo dibibirnya menyisakan kepiluan dan entah karena apa) kupikir saat itu kau benar-benar sinting" "sinting (cengangku) atas dasar apa kau mengatakan aku ini sinting, perasaan itu punyaku, apa hakmu mengataiku, lagi pula aku sudah memendamnya jauh didasar samudra tak mau lagi mengambilnya untukmu, tenanglah aku tak mau lagi mengganggu kamu dengan perasaan itu, lagi pula kau sudah tak pantas lagi memakai kalung cintaku " "tak bosan-bosannya kau menggangguku, itu masalahnya," (kata-katanya terlontar jujur, menyakiti hatiku, apa salah jika aku sedikit menenangkan hati mendengar suaranya, apa ada obat lain bagi yang sedang jatuh cinta selain yang dicintai, bagiku itu mungkin benar tetapi tidak bagi dia) "apa itu bukan pengecut?" (tantangku) "pengecut? "(tanyanya heran) "ya, aku pikir kau itu pengecut, kalau kau memang tak suka kenapa harus diam, setidaknya katakan ketidak sukaanmu itu, kenapa harus berlagak suka, sementara jauh dilubuk hatimu kau membenciku (air mataku tak tahan lagi untuk jatuh, kata-kataku terlontar sengau dan sedikit terisak, begitu teganya ia) "kau menangis?" (tanyanya sedih) "ini semua salahku, kenapa harus menuruti maunya hati ini, seharusnya dari dulu aku berhenti berfikir, aku pantas mencintaimu, aku salah dan lagi-lagi salah, hingga kehilangan teman karena ini" (airmata jatuh, semakin deras, padahal ku sedang tak ingin menangis, aku takut dia salah arti terhadap perasaanku) "tidak, ini hanya..." "menangislah..." (bukan karena ucapannya yang menyuruhku menangis, tetapi karena tak tahan lagi, ingin aku meluahkan seluruh air mata ini, hingga habis tak tersisa dan esok ku tak mau lagi menangis).
sejenak kami terdiam, dalam hening dapat ku dengar isakan yang masih tersisa, suara cericit burung, menghalangiku untuk menangis lebih keras lagi,dibalik awan yang tipis, para bintang tampak malu-malu menatap kami)
"sebaiknya aku pergi (ucapku akhirnya, aku ingin sekali meminta maaf telah mengganggunya, ini semua salahku, seharusnya aku mendengarkan larangan teman-temanku untuk tak lagi mencintainya, tetapi apapun kata mereka hatiku tetap tak bisa berbohong, pedih, perih, dan luka seperti tak menghalangiku untuk mencintainya, namun sayang semua berubah runyam) "maafkan aku" (kata maaf, begitu sulitnya ia terucap, sedetik aku tertegun, begitu runyamnya masalah ini, sehingga meneror hatiku jauh lebih dari yang aku bayangkan, tetapi kali ini aku merasa lega karena tak memendamnya lagi, setidaknya ia tahu apa sebenarnya yang aku fikirkan dan yang aku rasakan, aku lega karena tak sedang berbohong, berusaha untuk mengatakannya, sesulit apapun ia) "akulah yang akan pergi (ucapnya mengejutkanku) (aku tahu ia akan pergi, tak mau lagi aku mencegahnya) sebelum aku pergi, masih ada yang hendak kau bicarakan" (lanjutnya, memutar otakku terhadap hal apa yang hendak kubicarakan, tetapi itu terlalu banyak, sedang waktu tak mengizinkan, fajar tampak menyinsing, itu pertandanya subuh akan segera datang" "tidak, jangan sekarang, esok masih ada waktu, ku harap kau bisa menyimpannya untukku" (aku tahu itu, tetapi apa mampu aku memimpikannya lagi, sementara keberanianku sudah terkuras habis, aku terdiam, betapa ia seperti jamur dimusim dingin, dan aku kepanasan menjaganya agar tak rusak dimakan waktu, cinta ku ingin memeliharanya jauh dilubuk hati, tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang akan terjadi, cinta hanya itu yang aku inginkan) "apa kau membenciku?" (tanyaku untuk yang terakhir sebelum ia pergi) "och, " (gumamnya, dari sisi wajahnya tampak senyum separo itu mengembang, dan ia berlalu pergi)
langkahnya masih tak jauh dariku, cahaya yang tadi kulihat mulai memudar, aku heran kenapa fajar tiba-tiba menghilang? aku resah dan air mata mulai menetesi wajah melepas kepergiannya, tanpa jawaban, tanpa secarik cahaya fajar yang kulihat tadi sebelum ia pergi, kuulurkan tangan berharap ia kembali tak meninggalkanku lagi, tetapi itu sia-sia, sisa kekuatanku lenyap dan aku linglung, jatuh tak sadarkan diri, aku terbangun kembali disaat seseorang memanggilku, kupikir ia kembali untukku, aku senang dan bangkit, lupa akan sakit yang kurasa, namun seperti maya, ia hanya ada untukku, sesaat, dia tak abadi untukku, begitu nyata kenyataan ini bagiku, begitu maya kehadirannya bagiku, begitu pahit yang aku terima, sesaat kuusap air mata yang jatuh tanpa persetujuanku, kupejamkan mata berharap memimpikannya lagi)
-*-
suasana hatiku masih tak sehat atas mimpi semalam, berhari-hari kucoba melupakannya, usahaku hampir saja berhasil, tetapi gagal atas mimpi semalam. aku resah ingin berteriak, melepaskan semua gundah ini, tetapi aku sedang tak sendiri bisa-bisa keluargaku mengataiku sinting, jika ku ngotot tuk berteriak, nafsu makanku loyo, lamban dalam mengunyah, kalau bukan karena ibu, sudah ku buang makanan ini jauh-jauh dariku, huch..., makanan lenyap segera kubersihkan rumah, dan pergi berlari kesisi manggarai, disanalah tempat teramanku untuk berteriak, tanpa perlu takut dikatai orang, lagi-lagi air mataku jatuh, aku kesal kenapa selalu saja menangis disaat terpuruk begini, apa dengan begitu hatiku lega, aku ragu dengan kenyataan, aku bersama, karena ku selalu saja berbohong pada diriku, aku bahagia, sedang hatiku kelu merasakan kepahitan ini. ach
Tidak ada komentar:
Posting Komentar